sukses is simple

banyak dari kita mimpikan MENJADI ORANG SUKSES.......
......namun diluar dari kita, ada yang telah menjalani & melakukan PROSES MENJADI ORANG SUKSES..........

...." Sukses tetap dimulai dari satu langkah...MULAI SEKARANG"...........................

Selasa, 12 November 2013

TRAUMA CAPITIS



TINJAUAN TEORI

A.  Definisi Cedera Kepala
Cedera kepala merupakan cedera yang mengenai kulit kepala hingga tengkorak (Cranium dan bagian bawah). Namun penggunaan istilah cedera kepala (head injury) ini biasanya berkaitan dengan cedera yang mengenai tengkorak atau otak atau keduanya (Hickey, 2003). Defenisi lain menurut nasional institude of neurological disorder and strok, cedera kepala atau yang sinonim dengan brain injuri/head injuri/traumatic brain injuri, adalah cedera yang mengenai kepala atau otak (atau keduanya) yang terjadi ketika trauma mendadak menyebabkan kerusakan pada otak.

Anatomi dan Fisiologi Kepala
1. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau kulit, connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea aponeurotika, loose conective tissue atau jaringan penunjang longgar dan pericranium.
2. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum.
3. Meningen
    Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu :
a.      Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan lapisan meningeal. Dura mater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara dura mater dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat.
Arteri-arteri meningea terletak antara dura mater dan permukaan dalam dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).
b.     Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala.
c.     Piamater
Piamater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adarah membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater.
4. Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang dewasa sekitar 1,4 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; Proensefalon (otak depan) terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan serebellum.
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggungjawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada medula oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebelum bertanggungjawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan.
5. Cairan serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III, akuaduktus dari sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan takanan intrakranial. Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari.
6. Perdarahan Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk circulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis
B. Etiologi
Penyebab cedera kepala dapat dibagi menjadi 2 yaitu:
1.  Trauma oleh benda tajam
Seperti luka karena peluru, benda tajam menyebabkan cedera setempat dan menimbulkan cedera lokal.
2.  Trauma oleh benda tumpul
Menyebabkan cedera menyeluruh (difus) kerusakan terjadi ketika kekuatan diteruskan ke subtansi otak, dimana energi diserap oleh lapisan pelindung yaitu rambut, kulit kepala dan tengkorak, sehingga menyebabkan kerusakan dan gangguan sepanjang perjalanan kejaringan otak.
C.  Tipe dan Tingkatan Cedera Kepala
1. Cedera kepala ringan :
-          Klien bangun dan mungkin bisa berorientasi
-          GCS (13-15)
-          Kehilangan kesadaran atau amnesia < dari 30 menit
-          Tidak terdapat fraktur tengkorak, kontusio, hamatom
2. Cedera kepala sedang
-  Klien mungkin konfusi/samnolen, namun tetap mampu untuk mengikuti perintah        sederhana
-   GCS (9-12)
-   Hilang kesadaran atau amnesia > 30 menit tetapi < 24 jam
-   Dapat disertai fraktur tengkorak, disorientasi ringan
3. Cedera kepala berat
-   Klien tidak mampu mengikuti bahkan perintah sederhana karena gangguan kesadaran
-   GCS (3-8)
-   Kehilangan kesadaran atau amnesia > 24 jam
-   Mengalami kontusio serebral, laserasi, hematoma intrakranial.

D. Patofisiologi Cedera kepala
Kerusakan otak dapat diakibatkan cedera primer atau cedera sekunder pada kepala. Pada cedera primer kerusakan otak akibat trauma itu sendiri, sedangkan pada cedera sekunder kerusakan pada otak merupakan akibat dari pembengkakan (swelling), perdarahan (hematom), infeksi, hipoksia cerebral, atau iskemia yang terjadi setelah cedera primer. Cedera sekunder dapat terjadi dalam waktu yang cepat, dalam hitungan jam dari terjadinya cedera primer (Lemote & Burke, 2000). Selanjutnya dalam uraian patofisiologi ini akan dideskripsikan beberapa hal meliputi terjadinya penurunan oksigen dan glukosa kedalam otak, perubahan PH didalam otak dan gangguan elektrolit didalam otak.

1.   Penurunan oksigen dan glukosa otak
Neuron membutuhkan suplai nutrien dalam bentuk glukosa dan oksigen secara konstan dan sangat rentan terhadap cedera metabolik apabila suplai nutrien tersebut terhenti. Jika suplai ini terganggu, maka sirkulasi serebral dapat kehilangan kemampuannya untuk meregulasi ketersediaan volume darah dalam sirkulasi, dan menyebabkan terjadinya iskemia pada area tertentu didalam otak (Lemone & Burke, 2000). Hal serupa juga dikatakan price and wilson (2006) bahwa otak merupakan jaringan yang paling banyak memakai energi terutama berasal dari proses metabolisme oksidasi glukosa. Jaringan otak sangat rentan dan kebutuhan akan oksigen dan glukosa melalui aliran darah adalah konstan. Metabolisme otak merupakan proses tetap dan kontinyu, tanpa ada masa istirahat. Bila aliran darah terhenti selam 10 menit saja, maka kesadaran mungkin akan hilang dan penghentian dalam bebrapa menit saja dapat menimbulkan kerusakan irreversibel. Hipoglikemi yang berkepanjangan juga dapat merusak jaringan otak. 
Sementara itu iskemia dan hipoksia adalah dua mekanisme yang dapat menyebabkan kerusakan irreversibel pada otak. Iskemia menunjukkan adanya penurunan pada aliran darah otak. Penurunannya dapat fokal atau global atau bisa bersifat komplit dan inkomplit. Iskemia global melibatkan semua jaringan otak sedangkan iskemia fokal hanya melibatkan sebagian dari jaringan otak. Baik pada iskemia global maupun fokal perfusi dapat hilang secara komplit. Iskemia global yaitu terhentinya sirkulasi secara total, sedangkan yang komplit berada dalam rentangan antara perfusi yang menurun dan berhentinya sirkulasi secara total. Tanda-tanda patologis dari penurunan aliran darah otak dapat dideteksi apabila aliran menurun dibawah 25-30 ml/min/100 gr jaringan otak, namun demikian kompensasi biasanya terjadi. Apabila aliran darah turun dibawah level tersebut maka ambang iskemia yang pasti bervarisi diantara pasien dan tergantung pada banyak faktor (seperti : riwayat trauma sebelumnya, usia, dan medikasi). Berbeda dengan iskemia (penurunan aliran darah otak), hipoksia menunjukkan adanya penurunan pengiriman oksigen. Pengiriman oksigen dapat menurun akibat berbagai sebab seperti hipoksi anamic, penuran kardiak output (hipoksia dan iskemia), dan keracunan karbon monoksida (hipoksia anoksic). Secara klinik hipoksia dan iskemia lebih sering terjadi bersamaan. Jika terjadi kegagalan aliran darah ke otak akan mengakibatkn kecukupan oksigen untuk otak berkurang sehingga terjadi vasodilatasi melalui mekanisme autoregulasi, meskipun aliran darah berubah sedikit saja sampai tekanan PaO2 menurun sampai 50 mmHg. Sel yang hipoksia akan menghasilkan asam laktat, hal ini menyebabkan peningkatan aliran darah otak. Mekanisme asam laktat ini lebih rendah dari pada mekanisme regulasi CO2 dan H+ dalam peningkatan aliran darah otak.
2.  Perubahan pH didalam otak
Respon terutama axon terhadap cedera adalah gagal dalam melakukan glikolisis aerobic, memproduksi phosfokretin, mengaktivasi fungsi seluler energi tinggi, dan memproduksi ATP. Kegagalan glokolisis aerobic meningkatkan produksi asam laktat dan menurunkan PH intrasell mengakibatkan asidosis seluler.
3.  Gangguan elektrolit diotak
Dengan kegagalan produksi ATP, pompa sodium potasium tidak mampu lama mempertahankan / memelihara keseimbangan homeostatik ion-ion intrasel (konsentrasi kalium di intrasel dan natrium dieksrasel tinggi). Akibatnya adalah kalium ekstrasel meningkat, karena kalium diintrasel keluar ke ekstrasel sehingga terjadi edema (Hickey, 2003). Hilangnya homeostasis kalsium ini dapat menghambat metabolisme sel. Lebih lanjut keadaan ini menyebabkan meningkatnya pemecahan protein dan ipid, meningkatkan pemecahan membran sel dari hidrolisis phofolipid dan produksi toksin (berupa eicosanoid, pletelit aktivating faktor, dan radika bebas). Secara bersamaan setelah trauma terjadi pula kegagalan energi seluler yang berat menyebabkan peningkatan mencolok kadar extraselluler exitatory neurotransmiter (EEN) seperti asam amino eksitatori (exitatori amino acid/EAA) yaitu glutamat, aspartat dan acetilkolin amine. Komponen EEA ini diyakini mencederai, mengurangi energi dan mendepolarisasi sel-sel neural.
4.  Proses inflamasi yang terjadi di otak
Ruang intrakranial adalah ruang kaku yang terisi penuh sesuai kapasitasnya dengan unsur yang tidak dapat ditekan yaitu otak (1400 gr), cairan serebrospinal (lebih kurang 75 ml) dan darah ( 75 ml). Peningkatan volume salah satu diantara ketiga unsur ini mengakibatkan desakan pada ruangan yang ditempati oleh unsur lainnya dan meningkatkan tekanan intrakranial. Peningkatan TIK tidak hanya dijumpai setelah cedera kepala saja, tetapi mempunyai penyebab lainnya. Ada mekanisme kompensasi yang bekerja bila satu dari 3 elemen intrakranial membesar melampui proporsi normal. Proses ini sangat penting untuk mempertahankan TIK  normal yang juga berarti mempertahankan integritas otak. Perubahan konpensatoris meliputi pengalihan cairan serebrospnal kerongga spinal, peningkatan aliran vena dari otak sedikit tekanan pada jaringan otak. Tumor, cedera otak, edema, obstruksi aliran cairan serebrospinal, semuanya berpartisipasi dalam peningkatan TIK. Mekanisme kompensasi mejadi tidak efektif bila menghadapi peningkatan TIK yang serius dan berlangsung lama.
 Edema otak merupakan penyebab yang lazim pada peningkatan TIK, selain itu penyebab lain adalah peningkatan Cairan ektrasel, hipoksia, ketidakseimbangan cairan elektrolit, iskemia cerebral dan meningitis. Iskemia yang timbal merangsang pusat vasomotor sehingga tekanan darah sistemik meningkat. Rangsangan pada pusat inhibisi jantung mengakibatkan bradikardi dan pernapasan menjadi lebih lambat. Mekanisme kompensasi ini dikenal sebagai refleks cushing, membantu mempertahankan aliran darah keotak. Akan tetapi menurunnya pernapasan mengakibatkan retensi CO2 dan mengakibatkan vasodilatasi otak yang membantu meningkatkan tekanan intrakranial. Jadi tekanan darah sistemik terus akan meningkat sebanding dengan peningkatan tekanan intrakranial. Walaupun pada akhirnya dicapai suatu titik ketika tahanan intrakranial melebihi tekanan arteria dan sirkulasi otak terhenti yang mengakibatkan kematian otak. Pada umumnya kejadian ini didahului oleh tekanan darah arteria yang cepat menurun (Price & wilson, 2006).
E.  Manifestasi Klinis
1.   Nyeri yang menetap atau setempat.
2.   Bengkak pada sekitar fraktur sampai pada fraktur kubah cranial.
3.  Fraktur dasar tengkorak: hemorasi dari hidung, faring atau telinga dan darah terlihat di bawah konjungtiva,memar diatas mastoid (tanda battle),otorea serebro spiral ( cairan cerebros piral keluar dari telinga ), minorea serebrospiral (les keluar dari hidung).
4.   Laserasi atau kontusio otak ditandai oleh cairan spinal berdarah.
5.   Penurunan kesadaran.
6.   Pusing / berkunang-kunang.
7.   Absorbsi cepat les dan penurunan volume intravaskuler
8.   Peningkatan TIK
9.   Dilatasi dan fiksasi pupil atau paralysis edkstremitas
10. Peningkatan TD, penurunan frek. Nadi, peningkatan pernafasan
F.   Komplikasi
1. Kejang pasca trauma. 
Merupakan salah satu komplikasi serius. Insidensinya 10 %, terjadi di awal cedera 4-25% (dalam 7 hari cedera), terjadi terlambat 9-42% (setelah 7 hari trauma). Faktor risikonya adalah trauma penetrasi, hematom (subdural, epidural, parenkim), fraktur depresi kranium, kontusio serebri, GCS <10. 
2.   Demam dan mengigil : Demam dan mengigil akan meningkatkan kebutuhan metabolism dan memperburuk “outcome”. Sering terjadi akibat kekurangan cairan, infeksi, efek sentral. Penatalaksanaan dengan asetaminofen, neuro muscular paralisis. Penanganan lain dengan cairan hipertonik, koma barbiturat, asetazolamid.
3.   Hidrosefalus:
Berdasar lokasi penyebab obstruksi dibagi menjadi komunikan dan non komunikan. Hidrosefalus komunikan lebih sering terjadi pada cedera kepala dengan obstruksi, Hidrosefalus non komunikan terjadi sekunder akibat penyumbatan di sistem ventrikel. Gejala klinis hidrosefalus ditandai dengan muntah, nyeri kepala, papil udema, dimensia, ataksia, gangguan miksi. 

4.   Spastisitas :
Spastisitas adalah fungsi tonus yang meningkat tergantung pada kecepatan gerakan. Merupakan gambaran lesi pada UMN. Membentuk ekstrimitas pada posisi ekstensi. Beberapa penanganan ditujukan pada : Pembatasan fungsi gerak, Nyeri, Pencegahan kontraktur, Bantuan dalam posisioning.Terapi primer dengan koreksi posisi dan latihan ROM, terapi sekunder dengan splinting, casting, farmakologi: dantrolen, baklofen, tizanidin, botulinum, benzodiasepin 

5.   Agitasi
Agitasi pasca cedera kepala terjadi > 1/3 pasien pada stadium awal dalam bentuk delirium, agresi, akatisia, disinhibisi, dan emosi labil. Agitasi juga sering terjadi akibat nyeri dan penggunaan obat-obat yang berpotensi sentral. Penanganan farmakologi antara lain dengan menggunakan antikonvulsan, antihipertensi, antipsikotik, buspiron, stimulant, benzodisepin dan terapi modifikasi lingkungan. 

6.   Mood, tingkah laku dan kognitif 
Gangguan kognitif dan tingkah laku lebih menonjol dibanding gangguan fisik setelah cedera kepala dalam jangka lama. Penelitian Pons Ford,menunjukkan 2 tahun setelah cedera kepala masih terdapat gangguan kognitif, tingkah laku atau emosi termasuk problem daya ingat pada 74 %, gangguan mudah lelah (fatigue) 72%, gangguan kecepatan berpikir 67%. Sensitif dan Iritabel 64%, gangguan konsentrasi 62%. 
7.   Sindroma post kontusio 
Merupakan komplek gejala yang berhubungan dengan cedera kepala 80% pada 1 bulan pertama, 30% pada 3 bulan pertama dan 15% pada tahun pertama: Somatik : nyeri kepala, gangguan tidur, vertigo/dizzines, mual, mudah lelah, sensitif terhadap suara dan cahaya, kognitif: perhatian, konsentrasi, memori, 

Afektif: iritabel, cemas, depresi, emosi labil.
G. Test Diagnostik
1. Foto tengkorak : mengetahui adanya fraktur tengkorak (simple, depresi, kommunit), fragman tulang.
2.  Foto servikal : mengetahui adanya fraktur sevikal
3. CT. Scan : kemungkinan adanya subdural hematom, intraserebral hamtom, keadaan ventrikel
4.  MRI : CT Scan
5.  EEG
6.  lumbal puncti
7.  Pemeriksaan darah : Hb, Ht, trombosit, elektrolit

Manajemen keperawatan
1.  Monitor respirasi:  posisi, intubasi, bebaskan jalan napas,section, monitor keadaan ventilasi, pemeriksaan AGD, berikan oksigen jika perlu
2. Monitor status intracranial: respon, dan orientasi, TTV, pupil, fungsi motorik sensorik, observasi status neurologik.
3.  Atasi shok bila ada
4.  Keseimbangan cairan dan elektrolit

H. Penatalaksanaan Medis
1.   Diuretik : untuk mengurangi edema serebral misalnya monitol 20%, furosemid, lasix
2.   Antikonvulsan : untuk menghentikan kejang, misalnya dengan dilantin, tegretol, valium
3.   Kortikosteroid : untuk menghambat penghentian edema, ex: deksametason
4.  Antagonis histamine : mencegah terjadinya iritasi lambung karena hipersekresi akibat      efek trauma kepala, ex: ranitidine, cemetidin
5.   Antibiotic jika terjadi luka yang besar.

Prinsip Penatalaksanaan Pasien Cedera Kepala di IGD
Pertolongan pertama dari penderita dengan cedera kepala meliputi, anamnesa sampai pemeriksaan fisik secara seksama dan stimultan. Pemeriksaan fisik meliputi Airway, Breathing, Circulation, Disability, expsoure.
1. Pada pemeriksaan airway usahakan jalan nafas stabil, dengan cara kepala miring, buka mulut, bersihkan muntahan darah, adanya benda asing. Perhatikan tulang leher, immobilisasi, cegah gerakan hiperekstensi, hiperfleksi ataupun rotasi, Semua penderita cedera kepala yang tidak sadar harus dianggap disertai cidera vertebrae cervikal sampai terbukti tidak disertai cedera cervical, maka perlu dipasang collar barce. Jika sudah stabil tentukan saturasi oksigen, minimal saturasinya diatas 90 %, jika tidak, usahakan untuk dilakukan intubasi dan support pernafasan.
2.  Setelah jalan nafas bebas, sedapat mungkin pernafasannya (Breathing) diperhatikan frekwensinya normal antara 16 – 18 X/menit, dengarkan suara nafas bersih, jika tidak ada nafas lakukan nafas buatan, kalau bisa dilakukan monitor terhadap gas darah dan pertahankan PCO2 antara 28 – 35 mmHg karena jika  lebih dari 35 mm Hg akan terjadi vasodilatasi yang berakibat terjadinya edema serebri. Sedangkan jika kurang dari 20 mm Hg akan menyebabkan vasokonstriksi yang berakibat terjadinya iskemia. Periksa tekanan oksigen (O2) 100 mm Hg, jika kurang beri oksigen masker 8 liter /menit.
3.  Pada pemeriksaan sistem sirkulasi, periksa denyut nadi/jantung, jika (tidak ada) lakukan resusitasi jantung,  Bila shock (tensi < 90 mm Hg nadi >100x  per menit dengan infus cairan RL, cari sumber perdarahan ditempat lain, karena cidera kepala single pada orang dewasa hampir tidak pernah menimbulkan shock. Terjadinya shock pada cidera kepala meningkatkan angka kematian 2x.
4.  Pada pemeriksaan disability/ kelainan kesadaran, pemeriksaan kesadaran memakai glasgow coma scale,  Periksa kedua pupil bentuk dan besarnya serta catat reaksi terhadap cahaya langsung maupun tidak langsung, Periksa adanya hemiparese/plegi, Periksa adanya reflek patologis kanan kiri, Jika penderita sadar baik, tentukan adanya gangguan sensoris maupun fungsi misal adanya aphasia.
5.  Pada pemeriksan exposure, perhatikan bagian tubuh yang terluka, apakan ada jejas atau lebam pada tubuh akibat benturan.
6. Setelah fungsi vital stabil (ABC stabil baru dilakukan survey yang lain dengan cara melakukan sekunder survey/ pemeriksaan tambahan seperti skull foto, foto thorax, foto pelvis, CT Scan dan pemeriksaan ini sebenarnya dikerjakan secara stimultan dan seksama) (ATLS , 1997).

Efek yang terjadi jika pasien cedera kepala tidak ditangani dengan baik di IGD
Pasien yang mengalami cedera kepala, cenderung mengalami masalah yang komplit karena akan terjadi masalah pada otak dan saraf. Penyebab kematian atau kecacatan yang dapat terjadi apabila pasien cedera kepala tidak mendapatkan pertolongan yang benar pada saat kegawat daruratan yaitu :
1. Keterlambatan dalam penanganan jalan nafas dan pernafasan yang disebabkan oleh obstruksi benda asing, perdarahan, sekret dan muntah.
2.  Keterlambatan resusitasi primer terhadap hipoksia, hipercarbia dan hipotensi yang disebabkan oleh perdarahan.
3.  Infeksi kranioserebral. Cedera ganda memiliki masalah kompleks dan menyebabkan kematian dua kali cedera tunggal. Kelainan neurologis menunjukkan disfungsi otak berat. Pasien diatas 50 tahun bisa mengalami komplikasi intrakranial akibat cedera minor.

 Masalah yang timbul di IGD terkait cedera kepala

Asuhan Keperawatan

Pengkajian
Riwayat kesehatan:
-          Kapan cedera terjadi
-          Apa penyebab: objek yang membentur kepala atau kepala yang membentur objek
-          Dari mana arah dan kekuatan benturan
-          Apakah disertai kehilangan kesadaran, berapa lama, dapatkan klien dibangunkan
-          Apakah disertai muntah/mual dan sakit kepala.
     Pengkajian responsivitas dan kesadaran
-          Menggunakan GCS
     Pemantauan Tekanan Intra Cranial
-          Digunakan untuk mengkaji status intracranial
-          Kompresi intracranial: nadi dan pernapasan cepat, TD turun
-          Hipertermi menggambarkan kerusakan batang otak
-          Takikardi dan hipotensi indikasi adanya perdarahan internal
     Pengkajian pola pernapasan
-   Batang otak mengatur automatisasi, frekuensi dan irama pernapasan dan hemisfer serebral 
    mengatur control otot volunter pernapasan.
-   Pusat pernapasan mengalami cedera akibat trauma langsung, hipoksia atau interupsi aliran darah
-   Menimbulkan hipoventilasi, napas dangkal bahkan bias gagal napas: apnea
-   Pola napas cheynes stokes terjadi akibat hilangnya control hemisfer serebral
     Pengkajian fungsi motorik
-   Kaji koordinasi dan kekuatan otot
-   Gerakan spontan
-   Kemampuan menelan
-   Kemampuan komunikasi dan kualitas bicara
-   Membuka mata secara spontan
-   Ukuran serta kualitas pupil serta reaksi terhadap cahaya: respon yang buruk indikasi peningkatan 
    TIK
       -   Eliminasi, urin, defekasi
Pengkajian deficit neurologist dan psikologis
         Apakah ada paralysis saraf fokal, misalnya: anomia (tidak dapat menghidu), gerakan mata  abnormal. 
A             Apakah ada defisit neurologist, seperti: afasia, disatria, efek memori, kejang 
P            Penurunan psikologis: hilang rasa mallu, emosi labil, melawan, agresif, perilaku tidak sesuai, penurunan          kognitif.  
          Pengkajian status cairan
-          Ukur intake dan output cairan, perbahan berat badan
-          Elastisitas kulit dan membran mukosa
-          Cegah dehidrasi dan kelebihan volume cairan
-          Jika mendapat terapi diuresis: resiko dehidrasi

Diagnosa keperawatan
Tidak efektifnya pola napas: b/d kerusakan neuromuscular, control mekanisme ventilasi, komplikasi pada paru-paru,Gangguan perfusi jaringan serebral b/d kerusakan aliran darah otak sekunde edema serebri, hematom, Gangguan rasa nyaman: nyeri b/d trauma kepala
Resiko tinggi infeksi b/d jaringan trauma, kulit rusak.

 
DAFTAR PUSTAKA 
Budi, R. (2005). Profil penderita cedera kepala di unit gawat  darurat (ugd) sebuah rumah sakit di  jakarta, januari - juni 2005. Diperoleh tanggal 29 September 2010 dari http://asic.lib.unair.ac.id/journals/abstrak/DAMIANUS%205%202%202006%20%3B%20Budi%20%3B%20Profil%202.pdf 
Doenges, M. E., Moorhouse, M. F., & Geissler, A. C. (1999). Rencana asuhan keperawatan: pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien edisi 3. Jakarta: EGC.
Hickey, J.V. (2003). The practise of neurological and neurosurgical nursing. Philadelphia: Lippincott.
          Hudak & Gallo. (1996). Keperawatan kritis volume 2. Jakarta: EGC.
Irwana, O. (2009). Cedera Kepala. Diperoleh tanggal 29 September 2010 dari http://yayanakhyar.files.wordpress.com/2009/05/cedera_kepala_files_of_drsmed_fkur.pdf
Lemone, P.,& Burke, K. (2000). Medical-surgical nursing: Critical thinking in client       care. (4th ed.). Upper Saddle River , NJ : Prentice Hall.
         Mansjoer, A. (2000). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta. Media Aesculapies. FKUI
Price, S. A & Wilson. (2006). Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit Vol. 2 Ed. 6. Jakarta: EGC.
          Robert, P. (1996). Pengkajian fisik keperawatan. Jakarta: EGC.
Sakti, R. W. (2009). Hubungan antara derajat cedera kepala berdasarkan glasgow coma scale (gcs) dengan keluhan  nyeri kepala  pasca trauma pada pasien cedera kepala di rumah sakit pku muhammadiyah karanganyar. Diperoleh tanggal 29 September 2010 dari http://etd.eprints.ums.ac.id/6353/2/J500050027.pdf

































1 komentar:

  1. beri materi therapi yang lebih menantang dan gejalanya agar tepat sasaran dan penangannya dengan jenis obat2an yang terbaik?

    BalasHapus