TINJAUAN TEORI
A. Definisi Cedera Kepala
Cedera
kepala merupakan cedera yang mengenai kulit kepala hingga tengkorak (Cranium
dan bagian bawah). Namun penggunaan istilah cedera kepala (head injury) ini biasanya berkaitan dengan cedera yang mengenai
tengkorak atau otak atau keduanya (Hickey, 2003). Defenisi lain menurut
nasional institude of neurological
disorder and strok, cedera kepala atau yang sinonim dengan brain
injuri/head injuri/traumatic brain injuri, adalah cedera yang mengenai kepala
atau otak (atau keduanya) yang terjadi ketika trauma mendadak menyebabkan
kerusakan pada otak.
Anatomi dan
Fisiologi Kepala
1. Kulit Kepala
Kulit
kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin
atau kulit, connective tissue atau jaringan
penyambung, aponeurosis atau galea
aponeurotika, loose conective tissue atau jaringan
penunjang longgar dan pericranium.
2. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah
(kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri dari beberapa tulang
yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya diregio
temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii
berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak
akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3
fosa yaitu : fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis
dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum.
3. Meningen
Selaput meningen
menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu :
a.
Duramater
Duramater secara konvensional
terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan lapisan meningeal. Dura
mater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang
melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput
arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang
terletak antara dura mater dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan
subdural. Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan
otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging
Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus
sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus
sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat.
Arteri-arteri
meningea terletak antara dura mater dan permukaan dalam dari kranium (ruang
epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada
arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering
mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa
temporalis (fosa media).
b.
Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid
merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput arakhnoid terletak
antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang meliputi otak.
Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut spatium
subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi
oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid umumnya disebabkan
akibat cedera kepala.
c. Piamater
Piamater melekat
erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adarah membrana vaskular yang
dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang paling
dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya.
Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater.
4. Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin
yang mana berat pada orang dewasa sekitar 1,4 kg. Otak terdiri dari beberapa
bagian yaitu; Proensefalon (otak depan) terdiri dari serebrum dan diensefalon,
mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari
pons, medula oblongata dan serebellum.
Fisura membagi
otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi,
fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan
fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori
tertentu. Lobus oksipital bertanggungjawab dalam proses penglihatan.
Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang
berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada medula oblongata terdapat pusat
kardiorespiratorik. Serebelum bertanggungjawab dalam fungsi koordinasi dan
keseimbangan.
5. Cairan
serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan
oleh plexus khoroideus dengan kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS
mengalir dari dari ventrikel lateral melalui foramen monro menuju ventrikel
III, akuaduktus dari sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi
ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus
sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid
sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan takanan
intrakranial. Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar
150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari.
6. Perdarahan Otak
Otak disuplai oleh
dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat arteri ini
beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk circulus Willisi.
Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang sangat
tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke
dalam sinus venosus cranialis
B. Etiologi
Penyebab cedera kepala dapat
dibagi menjadi 2 yaitu:
1. Trauma oleh benda tajam
Seperti luka karena peluru,
benda tajam menyebabkan cedera setempat dan menimbulkan cedera lokal.
2. Trauma oleh benda tumpul
Menyebabkan cedera menyeluruh (difus) kerusakan terjadi
ketika kekuatan diteruskan ke subtansi otak, dimana energi diserap oleh lapisan
pelindung yaitu rambut, kulit kepala dan tengkorak, sehingga menyebabkan
kerusakan dan gangguan sepanjang perjalanan kejaringan otak.
C. Tipe dan Tingkatan Cedera Kepala
1. Cedera kepala ringan :
-
Klien bangun dan mungkin bisa berorientasi
-
GCS (13-15)
-
Kehilangan kesadaran atau amnesia < dari 30 menit
-
Tidak terdapat fraktur tengkorak, kontusio, hamatom
2. Cedera kepala sedang
- Klien mungkin konfusi/samnolen, namun tetap mampu untuk
mengikuti perintah sederhana
- GCS (9-12)
- Hilang kesadaran atau amnesia > 30 menit tetapi <
24 jam
- Dapat disertai fraktur tengkorak, disorientasi ringan
3. Cedera kepala berat
-
Klien tidak mampu mengikuti bahkan perintah sederhana
karena gangguan kesadaran
-
GCS (3-8)
-
Kehilangan kesadaran atau amnesia > 24 jam
-
Mengalami kontusio serebral, laserasi, hematoma
intrakranial.
D. Patofisiologi Cedera kepala
Kerusakan otak dapat diakibatkan cedera primer atau cedera sekunder pada
kepala. Pada cedera primer kerusakan otak akibat trauma itu sendiri, sedangkan
pada cedera sekunder kerusakan pada otak merupakan akibat dari pembengkakan
(swelling), perdarahan (hematom), infeksi, hipoksia cerebral, atau iskemia yang
terjadi setelah cedera primer. Cedera
sekunder dapat terjadi dalam waktu yang cepat, dalam hitungan jam dari
terjadinya cedera primer (Lemote & Burke, 2000). Selanjutnya dalam uraian patofisiologi ini akan dideskripsikan beberapa hal
meliputi terjadinya penurunan oksigen dan glukosa kedalam otak, perubahan PH
didalam otak dan gangguan elektrolit didalam otak.
1. Penurunan oksigen dan glukosa otak
Neuron membutuhkan suplai nutrien dalam bentuk glukosa dan oksigen secara
konstan dan sangat rentan terhadap cedera metabolik apabila suplai nutrien
tersebut terhenti. Jika suplai ini terganggu, maka sirkulasi serebral dapat
kehilangan kemampuannya untuk meregulasi ketersediaan volume darah dalam
sirkulasi, dan menyebabkan terjadinya iskemia pada area tertentu didalam otak
(Lemone & Burke, 2000). Hal serupa juga dikatakan price and wilson (2006) bahwa otak merupakan
jaringan yang paling banyak memakai energi terutama berasal dari proses
metabolisme oksidasi glukosa. Jaringan otak sangat rentan
dan kebutuhan akan oksigen dan glukosa melalui aliran darah adalah konstan. Metabolisme otak merupakan
proses tetap dan kontinyu, tanpa ada masa istirahat. Bila aliran darah terhenti
selam 10 menit saja, maka kesadaran mungkin akan hilang dan penghentian dalam
bebrapa menit saja dapat menimbulkan kerusakan irreversibel. Hipoglikemi yang
berkepanjangan juga dapat merusak jaringan otak. Sementara itu iskemia dan hipoksia adalah dua mekanisme yang dapat menyebabkan kerusakan irreversibel pada otak. Iskemia menunjukkan adanya penurunan pada aliran darah otak. Penurunannya dapat fokal atau global atau bisa bersifat komplit dan inkomplit. Iskemia global melibatkan semua jaringan otak sedangkan iskemia fokal hanya melibatkan sebagian dari jaringan otak. Baik pada iskemia global maupun fokal perfusi dapat hilang secara komplit. Iskemia global yaitu terhentinya sirkulasi secara total, sedangkan yang komplit berada dalam rentangan antara perfusi yang menurun dan berhentinya sirkulasi secara total. Tanda-tanda patologis dari penurunan aliran darah otak dapat dideteksi apabila aliran menurun dibawah 25-30 ml/min/100 gr jaringan otak, namun demikian kompensasi biasanya terjadi. Apabila aliran darah turun dibawah level tersebut maka ambang iskemia yang pasti bervarisi diantara pasien dan tergantung pada banyak faktor (seperti : riwayat trauma sebelumnya, usia, dan medikasi). Berbeda dengan iskemia (penurunan aliran darah otak), hipoksia menunjukkan adanya penurunan pengiriman oksigen. Pengiriman oksigen dapat menurun akibat berbagai sebab seperti hipoksi anamic, penuran kardiak output (hipoksia dan iskemia), dan keracunan karbon monoksida (hipoksia anoksic). Secara klinik hipoksia dan iskemia lebih sering terjadi bersamaan. Jika terjadi kegagalan aliran darah ke otak akan mengakibatkn kecukupan oksigen untuk otak berkurang sehingga terjadi vasodilatasi melalui mekanisme autoregulasi, meskipun aliran darah berubah sedikit saja sampai tekanan PaO2 menurun sampai 50 mmHg. Sel yang hipoksia akan menghasilkan asam laktat, hal ini menyebabkan peningkatan aliran darah otak. Mekanisme asam laktat ini lebih rendah dari pada mekanisme regulasi CO2 dan H+ dalam peningkatan aliran darah otak.
2. Perubahan pH didalam otak
Respon terutama axon terhadap cedera adalah gagal dalam melakukan
glikolisis aerobic, memproduksi phosfokretin, mengaktivasi fungsi seluler
energi tinggi, dan memproduksi ATP. Kegagalan glokolisis aerobic meningkatkan
produksi asam laktat dan menurunkan PH intrasell mengakibatkan asidosis
seluler.
3.
Gangguan elektrolit diotak
Dengan kegagalan produksi ATP, pompa sodium potasium tidak mampu lama
mempertahankan / memelihara keseimbangan homeostatik ion-ion intrasel
(konsentrasi kalium di intrasel dan natrium dieksrasel tinggi). Akibatnya
adalah kalium ekstrasel meningkat, karena kalium diintrasel keluar ke ekstrasel
sehingga terjadi edema (Hickey, 2003). Hilangnya homeostasis kalsium ini dapat menghambat metabolisme sel. Lebih
lanjut keadaan ini menyebabkan meningkatnya pemecahan protein dan ipid,
meningkatkan pemecahan membran sel dari hidrolisis phofolipid dan produksi
toksin (berupa eicosanoid, pletelit aktivating faktor, dan radika bebas). Secara
bersamaan setelah trauma terjadi pula kegagalan energi seluler yang berat
menyebabkan peningkatan mencolok kadar extraselluler exitatory
neurotransmiter (EEN) seperti asam amino eksitatori (exitatori amino
acid/EAA) yaitu glutamat, aspartat dan acetilkolin amine. Komponen EEA
ini diyakini mencederai, mengurangi energi dan mendepolarisasi sel-sel neural.
4. Proses inflamasi yang terjadi di otak
Ruang intrakranial adalah ruang kaku yang terisi penuh sesuai kapasitasnya
dengan unsur yang tidak dapat ditekan yaitu otak (1400 gr), cairan
serebrospinal (lebih kurang 75 ml) dan darah ( 75 ml). Peningkatan volume salah
satu diantara ketiga unsur ini mengakibatkan desakan pada ruangan yang
ditempati oleh unsur lainnya dan meningkatkan tekanan intrakranial. Peningkatan
TIK tidak hanya dijumpai setelah cedera kepala saja, tetapi mempunyai penyebab
lainnya. Ada mekanisme kompensasi yang bekerja bila satu dari 3 elemen intrakranial
membesar melampui proporsi normal. Proses ini sangat penting untuk
mempertahankan TIK normal yang juga
berarti mempertahankan integritas otak. Perubahan konpensatoris meliputi
pengalihan cairan serebrospnal kerongga spinal, peningkatan aliran vena dari
otak sedikit tekanan pada jaringan otak. Tumor, cedera otak, edema, obstruksi aliran cairan serebrospinal,
semuanya berpartisipasi dalam peningkatan TIK. Mekanisme kompensasi mejadi
tidak efektif bila menghadapi peningkatan TIK yang serius dan berlangsung lama.Edema otak merupakan penyebab yang lazim pada peningkatan TIK, selain itu penyebab lain adalah peningkatan Cairan ektrasel, hipoksia, ketidakseimbangan cairan elektrolit, iskemia cerebral dan meningitis. Iskemia yang timbal merangsang pusat vasomotor sehingga tekanan darah sistemik meningkat. Rangsangan pada pusat inhibisi jantung mengakibatkan bradikardi dan pernapasan menjadi lebih lambat. Mekanisme kompensasi ini dikenal sebagai refleks cushing, membantu mempertahankan aliran darah keotak. Akan tetapi menurunnya pernapasan mengakibatkan retensi CO2 dan mengakibatkan vasodilatasi otak yang membantu meningkatkan tekanan intrakranial. Jadi tekanan darah sistemik terus akan meningkat sebanding dengan peningkatan tekanan intrakranial. Walaupun pada akhirnya dicapai suatu titik ketika tahanan intrakranial melebihi tekanan arteria dan sirkulasi otak terhenti yang mengakibatkan kematian otak. Pada umumnya kejadian ini didahului oleh tekanan darah arteria yang cepat menurun (Price & wilson, 2006).
E. Manifestasi
Klinis
1. Nyeri yang menetap atau setempat.
2. Bengkak pada sekitar fraktur sampai pada fraktur
kubah cranial.
3. Fraktur dasar tengkorak: hemorasi dari hidung,
faring atau telinga dan darah terlihat di bawah konjungtiva,memar
diatas mastoid (tanda battle),otorea serebro spiral (
cairan cerebros piral keluar dari telinga ), minorea serebrospiral (les keluar dari
hidung).
4. Laserasi
atau kontusio otak ditandai oleh cairan spinal berdarah.
5. Penurunan
kesadaran.
6. Pusing
/ berkunang-kunang.
7. Absorbsi
cepat les dan penurunan volume intravaskuler
8. Peningkatan
TIK
9. Dilatasi
dan fiksasi pupil atau paralysis edkstremitas
10. Peningkatan
TD, penurunan frek. Nadi, peningkatan pernafasan
F. Komplikasi
1. Kejang pasca trauma. Merupakan salah satu komplikasi serius. Insidensinya 10 %, terjadi di awal cedera 4-25% (dalam 7 hari cedera), terjadi terlambat 9-42% (setelah 7 hari trauma). Faktor risikonya adalah trauma penetrasi, hematom (subdural, epidural, parenkim), fraktur depresi kranium, kontusio serebri, GCS <10.
2. Demam dan mengigil : Demam dan mengigil akan meningkatkan kebutuhan metabolism dan memperburuk “outcome”. Sering terjadi akibat kekurangan cairan, infeksi, efek sentral. Penatalaksanaan dengan asetaminofen, neuro muscular paralisis. Penanganan lain dengan cairan hipertonik, koma barbiturat, asetazolamid.
3. Hidrosefalus:
Berdasar lokasi penyebab obstruksi dibagi menjadi komunikan dan non komunikan. Hidrosefalus komunikan lebih sering terjadi pada cedera kepala dengan obstruksi, Hidrosefalus non komunikan terjadi sekunder akibat penyumbatan di sistem ventrikel. Gejala klinis hidrosefalus ditandai dengan muntah, nyeri kepala, papil udema, dimensia, ataksia, gangguan miksi.
4. Spastisitas :
Spastisitas adalah fungsi tonus yang meningkat tergantung pada kecepatan gerakan. Merupakan gambaran lesi pada UMN. Membentuk ekstrimitas pada posisi ekstensi. Beberapa penanganan ditujukan pada : Pembatasan fungsi gerak, Nyeri, Pencegahan kontraktur, Bantuan dalam posisioning.Terapi primer dengan koreksi posisi dan latihan ROM, terapi sekunder dengan splinting, casting, farmakologi: dantrolen, baklofen, tizanidin, botulinum, benzodiasepin
5. Agitasi
Agitasi pasca cedera kepala terjadi > 1/3 pasien pada stadium awal dalam bentuk delirium, agresi, akatisia, disinhibisi, dan emosi labil. Agitasi juga sering terjadi akibat nyeri dan penggunaan obat-obat yang berpotensi sentral. Penanganan farmakologi antara lain dengan menggunakan antikonvulsan, antihipertensi, antipsikotik, buspiron, stimulant, benzodisepin dan terapi modifikasi lingkungan.
6. Mood, tingkah laku dan kognitif
Gangguan kognitif dan tingkah laku lebih menonjol dibanding gangguan fisik setelah cedera kepala dalam jangka lama. Penelitian Pons Ford,menunjukkan 2 tahun setelah cedera kepala masih terdapat gangguan kognitif, tingkah laku atau emosi termasuk problem daya ingat pada 74 %, gangguan mudah lelah (fatigue) 72%, gangguan kecepatan berpikir 67%. Sensitif dan Iritabel 64%, gangguan konsentrasi 62%.
7. Sindroma post kontusio
Merupakan komplek gejala yang berhubungan dengan cedera kepala 80% pada 1 bulan pertama, 30% pada 3 bulan pertama dan 15% pada tahun pertama: Somatik : nyeri kepala, gangguan tidur, vertigo/dizzines, mual, mudah lelah, sensitif terhadap suara dan cahaya, kognitif: perhatian, konsentrasi, memori,
Afektif: iritabel, cemas, depresi, emosi labil.
G. Test Diagnostik
1. Foto tengkorak : mengetahui adanya fraktur tengkorak
(simple, depresi, kommunit), fragman tulang.
2. Foto servikal : mengetahui adanya fraktur sevikal
3. CT. Scan : kemungkinan adanya subdural hematom,
intraserebral hamtom, keadaan ventrikel
4. MRI : CT Scan
5. EEG
6. lumbal puncti
7. Pemeriksaan darah : Hb, Ht, trombosit, elektrolit
Manajemen keperawatan
1. Monitor respirasi: posisi, intubasi, bebaskan jalan napas,section, monitor keadaan
ventilasi, pemeriksaan AGD, berikan oksigen jika perlu
2. Monitor status intracranial: respon, dan orientasi,
TTV, pupil, fungsi motorik sensorik, observasi status neurologik.
3. Atasi shok bila ada
4. Keseimbangan cairan dan elektrolit
H. Penatalaksanaan Medis
1. Diuretik : untuk mengurangi edema serebral misalnya
monitol 20%, furosemid, lasix
2. Antikonvulsan : untuk menghentikan kejang, misalnya
dengan dilantin, tegretol, valium
3. Kortikosteroid : untuk menghambat penghentian
edema, ex: deksametason
4. Antagonis histamine : mencegah terjadinya iritasi
lambung karena hipersekresi akibat efek trauma kepala, ex: ranitidine,
cemetidin
5. Antibiotic jika terjadi luka yang besar.
Prinsip
Penatalaksanaan Pasien Cedera Kepala di IGD
Pertolongan pertama dari penderita dengan cedera
kepala meliputi, anamnesa sampai pemeriksaan fisik secara seksama dan
stimultan. Pemeriksaan fisik meliputi Airway, Breathing, Circulation,
Disability, expsoure.
1. Pada pemeriksaan airway usahakan jalan nafas
stabil, dengan cara kepala miring, buka mulut, bersihkan muntahan darah, adanya
benda asing. Perhatikan tulang leher, immobilisasi, cegah gerakan
hiperekstensi, hiperfleksi ataupun rotasi, Semua penderita cedera kepala yang
tidak sadar harus dianggap disertai cidera vertebrae cervikal sampai terbukti
tidak disertai cedera cervical, maka perlu dipasang collar barce. Jika sudah
stabil tentukan saturasi oksigen, minimal saturasinya diatas 90 %, jika tidak,
usahakan untuk dilakukan intubasi dan support pernafasan.
2. Setelah jalan nafas bebas, sedapat mungkin
pernafasannya (Breathing) diperhatikan frekwensinya normal antara 16 – 18
X/menit, dengarkan suara nafas bersih, jika tidak ada nafas lakukan nafas
buatan, kalau bisa dilakukan monitor terhadap gas darah dan pertahankan PCO2
antara 28 – 35 mmHg karena jika lebih
dari 35 mm Hg akan terjadi vasodilatasi yang berakibat terjadinya edema
serebri. Sedangkan jika kurang dari 20 mm Hg akan menyebabkan vasokonstriksi
yang berakibat terjadinya iskemia. Periksa tekanan oksigen (O2) 100 mm Hg, jika
kurang beri oksigen masker 8 liter /menit.
3. Pada pemeriksaan sistem sirkulasi, periksa denyut
nadi/jantung, jika (tidak ada) lakukan resusitasi jantung, Bila shock (tensi < 90 mm Hg nadi
>100x per menit dengan infus cairan
RL, cari sumber perdarahan ditempat lain, karena cidera kepala single pada
orang dewasa hampir tidak pernah menimbulkan shock. Terjadinya shock pada
cidera kepala meningkatkan angka kematian 2x.
4. Pada pemeriksaan disability/ kelainan kesadaran,
pemeriksaan kesadaran memakai glasgow coma scale, Periksa kedua pupil bentuk dan besarnya serta
catat reaksi terhadap cahaya langsung maupun tidak langsung, Periksa adanya
hemiparese/plegi, Periksa adanya reflek patologis kanan kiri, Jika penderita
sadar baik, tentukan adanya gangguan sensoris maupun fungsi misal adanya
aphasia.
5. Pada pemeriksan exposure, perhatikan bagian tubuh
yang terluka, apakan ada jejas atau lebam pada tubuh akibat benturan.
6. Setelah fungsi vital stabil (ABC stabil baru
dilakukan survey yang lain dengan cara melakukan sekunder survey/ pemeriksaan
tambahan seperti skull foto, foto thorax, foto pelvis, CT Scan dan pemeriksaan
ini sebenarnya dikerjakan secara stimultan dan seksama) (ATLS , 1997).
Efek yang terjadi jika pasien cedera kepala tidak
ditangani dengan baik di IGD
Pasien yang mengalami cedera kepala, cenderung
mengalami masalah yang komplit karena akan terjadi masalah pada otak dan saraf.
Penyebab kematian atau kecacatan yang dapat terjadi apabila pasien cedera
kepala tidak mendapatkan pertolongan yang benar pada saat kegawat daruratan
yaitu :
1. Keterlambatan dalam penanganan jalan nafas dan
pernafasan yang disebabkan oleh obstruksi benda asing, perdarahan, sekret dan
muntah.
2. Keterlambatan resusitasi primer terhadap hipoksia,
hipercarbia dan hipotensi yang disebabkan oleh perdarahan.
3. Infeksi kranioserebral. Cedera ganda memiliki
masalah kompleks dan menyebabkan kematian dua kali cedera tunggal. Kelainan
neurologis menunjukkan disfungsi otak berat. Pasien diatas 50 tahun bisa
mengalami komplikasi intrakranial akibat cedera minor.
A Apakah ada defisit neurologist, seperti: afasia, disatria, efek memori, kejang
P Penurunan psikologis: hilang rasa mallu, emosi labil, melawan, agresif, perilaku tidak sesuai, penurunan kognitif.
Pengkajian status cairan
Masalah
yang timbul di IGD terkait cedera kepala
Asuhan
Keperawatan
Pengkajian
Riwayat kesehatan:
-
Kapan cedera terjadi
-
Apa penyebab: objek yang membentur
kepala atau kepala yang membentur objek
-
Dari mana arah dan kekuatan benturan
-
Apakah disertai kehilangan kesadaran,
berapa lama, dapatkan klien dibangunkan
-
Apakah disertai muntah/mual dan sakit
kepala.
Pengkajian responsivitas dan kesadaran
-
Menggunakan GCS
Pemantauan Tekanan Intra Cranial
-
Digunakan untuk mengkaji status
intracranial
-
Kompresi intracranial: nadi dan
pernapasan cepat, TD turun
-
Hipertermi menggambarkan kerusakan
batang otak
-
Takikardi dan hipotensi indikasi adanya
perdarahan internal
Pengkajian pola pernapasan
- Batang otak mengatur automatisasi,
frekuensi dan irama pernapasan dan hemisfer serebral
mengatur control otot volunter pernapasan.
- Pusat pernapasan mengalami cedera akibat
trauma langsung, hipoksia atau interupsi aliran darah
- Menimbulkan hipoventilasi, napas dangkal
bahkan bias gagal napas: apnea
- Pola napas cheynes stokes terjadi akibat
hilangnya control hemisfer serebral
Pengkajian fungsi motorik
- Kaji koordinasi dan kekuatan otot
- Gerakan spontan
- Kemampuan menelan
- Kemampuan komunikasi dan kualitas bicara
- Membuka mata secara spontan
- Ukuran serta kualitas pupil serta reaksi
terhadap cahaya: respon yang buruk indikasi peningkatan
TIK
- Eliminasi, urin, defekasi
Pengkajian deficit neurologist dan
psikologis
Apakah ada paralysis saraf fokal, misalnya:
anomia (tidak dapat menghidu), gerakan mata abnormal. A Apakah ada defisit neurologist, seperti: afasia, disatria, efek memori, kejang
P Penurunan psikologis: hilang rasa mallu, emosi labil, melawan, agresif, perilaku tidak sesuai, penurunan kognitif.
Pengkajian status cairan
-
Ukur intake dan output cairan, perbahan
berat badan
-
Elastisitas kulit dan membran mukosa
-
Cegah dehidrasi dan kelebihan volume
cairan
-
Jika mendapat terapi diuresis: resiko
dehidrasi
Diagnosa keperawatan
Tidak
efektifnya pola napas: b/d kerusakan neuromuscular, control mekanisme
ventilasi, komplikasi pada paru-paru,Gangguan
perfusi jaringan serebral b/d kerusakan aliran darah otak sekunde edema
serebri, hematom, Gangguan
rasa nyaman: nyeri b/d trauma kepala
Resiko
tinggi infeksi b/d jaringan trauma, kulit rusak.
DAFTAR PUSTAKA
Budi, R. (2005). Profil penderita cedera
kepala di unit gawat darurat (ugd) sebuah rumah
sakit di jakarta, januari - juni 2005. Diperoleh tanggal 29 September 2010 dari http://asic.lib.unair.ac.id/journals/abstrak/DAMIANUS%205%202%202006%20%3B%20Budi%20%3B%20Profil%202.pdf
Doenges, M. E., Moorhouse, M. F., & Geissler, A. C. (1999). Rencana
asuhan keperawatan: pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan
pasien edisi 3. Jakarta: EGC.
Hickey, J.V. (2003). The practise of neurological and neurosurgical
nursing. Philadelphia: Lippincott.
Hudak & Gallo. (1996). Keperawatan kritis volume 2.
Jakarta: EGC.
Irwana, O. (2009).
Cedera Kepala. Diperoleh tanggal 29 September 2010 dari http://yayanakhyar.files.wordpress.com/2009/05/cedera_kepala_files_of_drsmed_fkur.pdf
Lemone, P.,& Burke, K. (2000). Medical-surgical nursing: Critical
thinking in client care. (4th ed.).
Upper Saddle River , NJ : Prentice Hall.
Mansjoer, A.
(2000). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta. Media Aesculapies. FKUI
Price, S. A & Wilson. (2006). Patofisiologi: Konsep klinis
proses-proses penyakit Vol. 2 Ed. 6. Jakarta: EGC.
Robert, P. (1996). Pengkajian fisik keperawatan. Jakarta:
EGC.
Sakti, R. W. (2009). Hubungan
antara derajat cedera kepala berdasarkan glasgow coma scale (gcs) dengan
keluhan nyeri kepala pasca trauma pada pasien cedera kepala di
rumah sakit pku muhammadiyah
karanganyar. Diperoleh tanggal 29
September 2010 dari http://etd.eprints.ums.ac.id/6353/2/J500050027.pdf
beri materi therapi yang lebih menantang dan gejalanya agar tepat sasaran dan penangannya dengan jenis obat2an yang terbaik?
BalasHapus