sukses is simple

banyak dari kita mimpikan MENJADI ORANG SUKSES.......
......namun diluar dari kita, ada yang telah menjalani & melakukan PROSES MENJADI ORANG SUKSES..........

...." Sukses tetap dimulai dari satu langkah...MULAI SEKARANG"...........................

Selasa, 10 Desember 2013

"SERTIFIKASI Training".....what apps



Rentetan Alasan Mengapa Training Soft Skills Bermanfaat
Banyak orang berpendapat bahwa, soft skill adalah motivational. Artinya seseorang yang semula tidak bersemangat bekerja, kemudian disertakan ke suatu pelatihan yang dipimpin oleh seorang motivator terkenal dengan harapan dimotivasi. Dan jika Anda kebetulan menjadi peserta, Anda tentunya akan terbawa suasana dan menjadi sangat bersemangat saat itu.
Pernyataan di atas hanya benar sebagian kecil. Soft skill tidak terbatas pada kemampuan untuk termotivasi, tetapi lebih-lebih lagi merupakan keterampilan memotivasi diri. Dalam istilah Neuro-Linguistic Programming (NLP) soft skill merupakan ketrampilan menggunakan internal representational system secara tepat sehingga kita mampu berada dalam state (kondisi mental) yang tepat. Hal ini dinyatakan sangat jelas dalam kalimat presupposition of NLP “there is no unresourceful people only unresourceful state (tidak ada orang yang tidak berdaya hanya ada orang yang beroperasi dengan kondisi mental yang tidak berdaya.”
Tidak selamanya soft-skill tidak terukur, hanya saja umumnya soft skill menjadi landasan pengaplikasian hard skills. Sebagai contoh menjual sering dianggap sebagai keterampilan terukur, yaitu hasil penjualannya, misalnya sekian miliar pertahun. Namun, untuk mencapai hasil tersebut penjual mengaplikasikan soft skills di antaranya interpersonal skill dan intrapersonal skill.
Interpersonal skill adalah keterampilan seorang penjual berinteraksi dengan calon pembeli dan pelanggan, di saat yang sama ia mengaplikasikan soft skill—intrapersonal skill. Sebagai contoh bagaimana ia secara kecerdasan emosional menghadapi penolakan, bagaimana ia memompa semangatnya sendiri untuk mengetuk lebih banyak pintu, menelepon lebih banyak orang dan sebagainya. Di samping itu menjual membutuhkan keterampilan berkomunikasi dan tentu saja membangun keterampilan ini mengharuskan orang mempercayai kemampuan diri yang merupakan soft skill. Mengetahui bagaimana caranya mengoperasikan pesawat telepon merupakan satu hal namun mengetahui apa yang akan dikatakan dan cara yang tepat mengatakannya merupakan hal lainnya.
Seorang perawat tentu saja harus menguasai ilmu keperawatan dan ilmu pengobatan—misalnya. Namun bagaimana mereka dapat berkonsentrasi penuh dan membuat kinerja tindakan medis yang trampil & baik, sangat dibutuhkan soft skill seperti motivasi diri, fokus dan juga kecerdasan emosional.
Bagaimana dengan seorang supir ambulance? Tentu saja ia harus memiliki ketrampilan mengendarai mobil & mengetahui kegawatan pasien. Namun ia juga membutuh soft skill supaya ia dapat berkendara dengan baik dengan tetap memperhatikan kondisi pasien yang dibawanya, mengantarkan & mengambil/mengevakuasi pasien sampai tujuan serta termotivasi untuk terus manuver agar tetap melaju berada di jalanan yang macet. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa, soft skill adalah ketrampilan yang menjadi landasan bagi hard skill, maka tidak heran orang yang soft skill-nya tidak berkembang akan mengalami kesulitan mengembangkan hard skill-nya. Dengan demikian hampir tidak mungkin menguasai suatu keterampilan operasional tanpa memiliki soft skill.
Banyak perusahaan dan personal tidak ingin menginvestasikan uang mereka untuk membayar pelatihan soft skills. Alasan yang sering dikemukakan adalah hasil dari pelatihan soft skill tidak terukur secara nyata. Selain itu perubahan—kalau pun ada—bersifat sementara. Sebagai contoh seorang pengusaha yang menghabiskan puluhan—bahkan ratusan juta rupiah untuk training motivational, menemukan kenyataan bahwa, staf dan karyawan yang telah mengikuti pelatihan jarang atau tidak semuanya kembali ke tempat kerja dengan semangat menyala-nyala. Mereka seperti telah terjangkar dan terjebak dlam monoritmis di lokasi kerja, tidak bersemangat! Berkeluh-kesah dan tak henti-hentinya menuntut hak-haknya namun cenderung melalaikan kewajiban-kewajiban.
Jika itu pendapat Anda, saya sungguh setuju. Terutama bahwa orang bisa terjangkar atau terasosiasi secara tandem terhadap tempat kerja yang monoritmis sehingga membosankan serta memicu emosi-emosi negatif, boro-boro bersemangat. Begitu melihat meja kerja dan tumpukan pekerjaan perasaan enggan mendadak sontak muncul, semua cerita motivasi tersapu tak bersisa. Sebenarnya keadaan ini adalah sebuah alasan untuk memberikan training dan meningkatkan soft skills staf dan karyawan—menciptakan agent of change. Mengapa demikian? Tempat kerja merupakan aspek lingkungan yang tidak dapat mengubah dirinya guna menyesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan manusia di dalamnya. Manusialah yang dapat mengubah persepsinya atau melakukan tindakan bertujuan memengaruhi lingkungan itu. Perubahan persepsi akan memampukan orang mendisasosiasi dengan lingkungan yang memberi dampak negatif. Dengan mind set berbeda pekerjaan yang menumpuk di atas meja dapat dipersepsi ulang sebagai tantangan yang menimbulkan antusiasme untuk menuntaskannya. Training yang tepat sasaran membantu para peserta menguasai kemampuan memotivasi diri dan dengan demikian ia akan menjadi kapabel untuk terus-menerus mempersepsikan sisi-sisi positif bagi dirinya.
Pengusaha lain berpendapat lain lagi, seseorang yang bersusah-payah mendapatkan pekerjaan seharusnya selalu termotivasi untuk bekerja keras dan cerdas serta siap seratus persen untuk menjalankan tugas dalam situasi dan kondisi bagaimanapun. Tidak perlu lagi ditraining, apalagi soft skill yang hasilnya tidak terukur.
Betul sekali. Orang yang berani melamar suatu pekerjaan harus konsisten dengan apa yang pernah dikatakannya pada saat interview bahwa, ia telah memiliki kapabilitas menjalankan pekerjaan yang ditawarkan kepadanya. Tetapi pada umumnya yang dimaksud kapabilitas atau kecakapan adalah keterampilan operasional. Supaya dapat terus-menerus berkinerja maksimal di bidangnya, orang tidak hanya membutuhkan hard skills, tetapi juga perlu meningkatkan kapabilitas kecerdasan emosional dan spiritualnya. Maka ini menjadi suatu alasan  pentingnya pelatihan soft skills, yakni meningkatkan kecerdasan emosional dan spritual. Peningkatan ini akan membawa dampak positif baginya untuk meningkatkan kinerja kerja. Pada gilirannya tentu saja karyawan tersebut membawa dampak positif pula bagi perusahaan.
Tidak jarang para pengusaha mengatakan, “Hei, aku sudah menjalankan perusahaan ini selama puluhan tahun, dan aku tidak pernah memerlukan pelatihan komunikasi, motivasi, negosiasi atau si-si lainnya. Kalau ada pegawai yang tidak kompeten ya dikeluarkan saja dan cari lagi. Di luar sana banyak yang nganggur!” Emang gua pikirin hal soft skill....????
Apa yang dikemukakan golongan pengusaha ini tak terbantahkan kebenarannya. Namun dengan tidak mengembangkan interpersonal dan intrapersonal staf dan karyawan, mereka memiliki kerugian-kerugian di antaranya adalah:
a)      Perusahaan berjalan di tempat dan tidak pernah mencapai puncaknya disebabkan orang-orang yang bekerja di dalamnya juga berjalan di tempat.
b)     Selain itu ongkos yang dikeluarkan untuk memecat dan merekrut bisa mencekik leher.
c)      Praktek ini juga menguras tenaga dan pikiran serta emosi yang tidak sedikit.
d)     Kerugian terbesar yang dapat ditimbulkan cara pandang dan praktek ini adalah karyawan bintang akan “pergi dengan suka-rela” sementara yang dead wood (kartu mati) akan bertahan.
e)     Jarang ada rekruit baru berkembang sebab mereka diceburkan ke dalam lingkungan kerja yang tidak sehat. Akhirnya lingkaran setan terulang lagi, yang berprestasi akan pergi dan yang ‘memble’ bertahan. Maka di sinilah alasan ketiga mengapa pelatihan soft skills perlu diberikan kepada para karyawan bintang agar mereka betah sebab merasa menemukan tempat bertumbuh-kembang dan dibantu untuk menggali potensi diri semaksimal mungkin.
Kelompok pengusaha lain akan menyanggah pendapat di atas dan mengatakan biasanya karyawan itu kalau sudah diberi training-training dan dibina akan “terbang” ke perusahaan lain yang menawarkan gaji dan remunerasi lebih baik. Tetapi bukankah ini alasan keempat mengapa pelatihan soft skills perlu diberikan sebab membantu proses penyeleksian? Staf atau karyawan yang tidak loyal pasti akan pergi cepat atau lambat. Tentunya semakin cepat mereka pergi semakin baik, sebab memberi perusahaan kesempatan mendapatkan loyalist sejati. Selain itu juga memberikan alasan lain pentingnya pelatihan soft skills yaitu direksi atau manajemen akan mendapatkan feedback bahwa, perusahaan belum menjadi perusahaan yang diincar atau mendapatkan karyawan berkinerja tinggi, masih dibutuhkan peningkatan sehingga karyawan bintang dapat dipertahankan.
Alasan berikutnya adalah mengapa training soft skills diperlukan adalah banyaknya keluhan bahwa, perusahaan—baik manajemen maupun karyawan overload dan tidak memiliki waktu untuk rekreasi apalagi training. Kan cape setelah bekerja lembur setiap hari dari Senin hingga Jumat, Sabtu masih harus mengikuti training? Rekreasi saja lebih enjoy ! Overload menandakan manajemen waktu—sebetulnya manajemen aktivitas, pendelegasian tugas—yang tidak efektif sedang berlangsung di perusahaan. Semua orang, mulai dari jenjang paling tinggi hingga OB merasa kekurangan waktu dan dibebani tugas yang terlalu banyak. Akibatnya hampir setiap orang mengalami burn-out, berkeluh-kesah, cepat tersinggung dan tidak peduli pada kepentingan orang lain.
Alasan klise lain yang dikemukakan untuk tidak memberikan kesempatan kepada staf dan karyawan mengembangkan diri adalah: TIDAK ADA BUDGET! TIDAK ADA DANA! Bukan hanya tidak rela mengeluarkan dana untuk training, bahkan banyak perusahaan berusaha menghindari menyertakan karyawannya dalam program Jamsostek dan dana pensiun. Sungguh pernyataan di atas—TIDAK ADA BUDGET/DANA—tidak jarang terdengar. Namun perusahaan yang memahami dan serius dengan semboyan “karyawan adalah aset yang berharga”, pasti mencadangkan sejumlah dana untuk training. Jadi alasan keenam pentingnya pelatihan soft skill disebabkan karyawan adalah aset perusahaan yang sangat penting.
Setelah keenam alasan di atas, manajemen masih dipersulit oleh kenyataan terlalu banyaknya lembaga atau perorangan yang menawarkan training; mulai dari motivational hingga out-bound training. Selain bingung memilihnya juga banyak yang ternyata kurang kompeten. Tetapi inilah suatu alasan juga untuk membelanjakan uang perusahaan dan sangat mudah sebenarnya memilih training yang bermutu dengan harga terjangkau. Banyaknya lembaga atau perorang yang menawarkan training justru membuka kesempatan bagi dunia usaha untuk memilih yang terbaik di antaranya. Namun bagaimana caranya? Inilah beberapa saran memilih trainer yang bermutu.
1. Trainer berpengalaman di bidang manajemen dan kepemimpinan. Pengalaman demikian diperoleh melalui bekerja berpuluh tahun di perusahaan dan industri berbeda. Pengalaman yang luas memampukan seorang trainer memberikan materi yang tepat guna dan tetap sasaran. Apapun pertanyaan di seputar manejemen sumber daya manusia, interaksi yang melibatkan penggunaan soft skill dapat dijawabnya dengan baik.
2. Pendidikan yang cukup berarti trainer dan tim trainer paling tidak lulus S1 dan lebih baik lagi lulus S2 dan S3. Latar-belakang pendidikan mungkin tidak berhubungan dengan bidang pelatihan soft skill yang diberikannya, namun pendidikan di perguruan tinggi membuat orang dapat berpikir konseptual lebih baik daripada yang tidak. Tingkat pendidikan tentu saja tidak membuat orang berbeda secara harkat dan martabat, tetapi seorang trainer atau pelatih tidak cukup bermartabat saja ia juga harus kapabel berpikir dan mengajarkan hal-hal yang konseptual.
3. Kredibilitas seorang trainer. Apakah trainer atau lembaga training memiliki kredibilitas yang dapat dipercaya? Trainer yang kredibilitas selalu memberikan lebih daripada yang diharapkan, ia tidak akan memangkas materi dan jam pelatihan serta tidak menghindari pertanyaan-pertanyaan yang sulit.
4. Integrasi; artinya trainer atau lembaga training tersebut melakukan apa yang dikatakannya, memberikan pelatihan yang tepat sasaran buat perusahaan bukan sekedar menyampaikan materi yang dikuasainya—kadang-kadang hanya diketahui—saja.
5. Terjangkau; memang ada harga ada rupa, trainer berpengalaman dan telah memiliki reputasi baik mengenakan fee yang lebih tinggi, tetapi trainer yang baik mengenakan fee yang sepantasnya, mungkin saja perusahaan mengeluarkan uang yang banyak, tetapi mendapatkan nilai-nilai manfaat dan nilai tambah lebih besar lagi.
6. Menguasai bidang pengembangan sumber daya manusia seperti kecerdasan emosional. Tujuh tahun terakhir ini banyak sekali trainer yang mengaku dirinya menguasai Neuro-Linguistic Programming, hipnosis dan segala teknik berbau new age dan menawarkannya kepada dunia usaha, namun manajemen terutama yang mendapat tugas mencari trainer atau memilih program training perlu hati-hati. NLP merupakan bidang pengembangan diri yang luas cakupannya tidak cukup diketahui dan dijadikan bahan training singkat. Demikian pula hipnosis yang hanya dipelajari sehari dua hari tidak tepat digunakan untuk mengajari orang lain. Bagaimanapun trainer merupakan orang luar yang tidak memahami perusahaan Anda sebaik diri Anda, jadi lakukan interview sebelum mengontrak seseorang untuk pekerjaan penting.
7. Trainer yang melakukan riset dan menulis buku. Tentang hal inipun Anda harus jeli, sebab banyak sekali orang menulis buku dan hal ini tidak secara otomatis menunjukkan kompetensinya. Bukan hal mustahil menulis buku dari kopas berbagai sumber, dan tentu saja orang juga dapat membayar orang lain untuk melakukannya.
8.Seringkali user terjebak dengan alur birokratis hal trainer & lembaga training, padahal telah jelas regulasi yang mengaturnya, bahwa kecuali taining yang dianggap kategori kompetensi, maka sebenarnya tak ada regulasi yang mengatur jelas, bahkan banyak sertifikasi yang sebenarnya secara internasional diakui, di negeri “rayuan pulau kelapa” tercinta ini justru tidak diakui.
9.Akhirnya banyak para profesional yang terjebak mencari sekedar selembar kertas yang penuh dengan konversi satuan kredit profesi (SKP) agar menjadi “gagah & berwibawa” khususnya menjadi seorang “pegawai negeri” layaknya amtenar para mandor di jaman kolonial, namun rapuh dalam muatan substansi hard skill, apalagi soft skill.
Kalimat “sertifikasi” menjadi gagah dan hingar bingar arogan, namun hanya berakhir dengan selembar sertifikat, ibarat investasi itu adalah membeli selembar kertas yang penuh cap dan tanda tangan para “pejabat papan atas”, namun rapuh dalam substansi ilmu yang tandem.
Tentunya banyak lagi kriteria-kriteria seorang trainer yang baik. Sangat dianjurkan sebelum mengundang seseorang lebih baik melakukan pertemuan tatap-muka. Bicarakan keinginan dan kebutuhan perusahaan lalu amati dengan cermat apakah orang atau tim tersebut mampu memenuhinya. Amati pula apakah mereka hanya membicarakan apa yang mereka ketahui atau menawarkan solusi-solusi yang tepat.
Kita seharusnya menjadi sedih ketika negeri ini bermental “pengemis” yaitu masyarakat yang enggan bekerja keras, namun ingin secara instan mendapatkan bertumpuk-tumpuk RUPIAH. Kategori pengemis adalah mulai dari asongan di perempatan lampu merah, stasiun, terminal bis, atau sudah punya warung kaki lima di pasar serta beberapa pusat keramaian, bahkan sampai di tataran yang memiliki kantor bergengsi dengan stelan jas dan berdasi, bahkan memiliki label “pejabat”, namun akhirnya semua akan kena batunya, tinggal berbeda dalam instansi yang akan menggiring dan mencekik lehernya. Kalau klas asongan ya dibawah depsos yang membina, klas kaki lima ditambah bantuan satpol yang menertibkan, kalau kelas yang berkantor, maka KPK yang menjadi algojo akhir. Hal ini dilatih dengan gaya ikut pelatihan namun hanya berharap selembar sertifikat agar dikatakan telah tersertifikasi.....
Nah.... Soft skill is never die... disitulah muncul serta nampak perannya...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar