Rentetan Alasan Mengapa Training Soft Skills
Bermanfaat
Banyak orang
berpendapat bahwa, soft skill adalah motivational. Artinya seseorang yang
semula tidak bersemangat bekerja, kemudian disertakan ke suatu pelatihan yang
dipimpin oleh seorang motivator terkenal dengan harapan dimotivasi. Dan jika
Anda kebetulan menjadi peserta, Anda tentunya akan terbawa suasana dan menjadi
sangat bersemangat saat itu.
Pernyataan di
atas hanya benar sebagian kecil. Soft skill tidak terbatas pada kemampuan untuk
termotivasi, tetapi lebih-lebih lagi merupakan keterampilan memotivasi diri.
Dalam istilah Neuro-Linguistic Programming (NLP) soft skill merupakan ketrampilan
menggunakan internal representational system secara tepat sehingga kita mampu
berada dalam state (kondisi mental) yang tepat. Hal ini dinyatakan sangat jelas
dalam kalimat presupposition of NLP “there is no unresourceful people only unresourceful
state (tidak ada orang yang tidak berdaya hanya ada orang yang beroperasi
dengan kondisi mental yang tidak berdaya.”
Tidak selamanya
soft-skill tidak terukur, hanya saja umumnya soft skill menjadi landasan
pengaplikasian hard skills. Sebagai contoh menjual sering dianggap sebagai
keterampilan terukur, yaitu hasil penjualannya, misalnya sekian miliar
pertahun. Namun, untuk mencapai hasil tersebut penjual mengaplikasikan soft
skills di antaranya interpersonal skill dan intrapersonal skill.
Interpersonal
skill adalah keterampilan seorang penjual berinteraksi dengan calon pembeli dan
pelanggan, di saat yang sama ia mengaplikasikan soft skill—intrapersonal skill.
Sebagai contoh bagaimana ia secara kecerdasan emosional menghadapi penolakan,
bagaimana ia memompa semangatnya sendiri untuk mengetuk lebih banyak pintu,
menelepon lebih banyak orang dan sebagainya. Di samping itu menjual membutuhkan
keterampilan berkomunikasi dan tentu saja membangun keterampilan ini
mengharuskan orang mempercayai kemampuan diri yang merupakan soft skill.
Mengetahui bagaimana caranya mengoperasikan pesawat telepon merupakan satu hal
namun mengetahui apa yang akan dikatakan dan cara yang tepat mengatakannya
merupakan hal lainnya.
Seorang perawat
tentu saja harus menguasai ilmu keperawatan dan ilmu pengobatan—misalnya. Namun
bagaimana mereka dapat berkonsentrasi penuh dan membuat kinerja tindakan medis
yang trampil & baik, sangat dibutuhkan soft skill seperti motivasi diri,
fokus dan juga kecerdasan emosional.
Bagaimana
dengan seorang supir ambulance? Tentu saja ia harus memiliki ketrampilan
mengendarai mobil & mengetahui kegawatan pasien. Namun ia juga membutuh
soft skill supaya ia dapat berkendara dengan baik dengan tetap memperhatikan
kondisi pasien yang dibawanya, mengantarkan & mengambil/mengevakuasi pasien
sampai tujuan serta termotivasi untuk terus manuver agar tetap melaju berada di
jalanan yang macet. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa, soft skill adalah ketrampilan yang menjadi landasan bagi
hard skill, maka tidak heran orang yang soft skill-nya tidak berkembang
akan mengalami kesulitan mengembangkan hard skill-nya. Dengan demikian hampir
tidak mungkin menguasai suatu keterampilan operasional tanpa memiliki soft
skill.
Banyak
perusahaan dan personal tidak ingin menginvestasikan uang mereka untuk membayar
pelatihan soft skills. Alasan yang sering dikemukakan adalah hasil dari
pelatihan soft skill tidak terukur secara nyata. Selain itu perubahan—kalau pun
ada—bersifat sementara. Sebagai contoh seorang pengusaha yang menghabiskan
puluhan—bahkan ratusan juta rupiah untuk training motivational, menemukan
kenyataan bahwa, staf dan karyawan yang telah mengikuti pelatihan jarang atau
tidak semuanya kembali ke tempat kerja dengan semangat menyala-nyala. Mereka
seperti telah terjangkar dan terjebak dlam monoritmis di lokasi kerja, tidak
bersemangat! Berkeluh-kesah dan tak henti-hentinya menuntut hak-haknya namun
cenderung melalaikan kewajiban-kewajiban.
Jika itu
pendapat Anda, saya sungguh setuju. Terutama bahwa orang bisa terjangkar atau
terasosiasi secara tandem terhadap tempat kerja yang monoritmis sehingga
membosankan serta memicu emosi-emosi negatif, boro-boro bersemangat. Begitu
melihat meja kerja dan tumpukan pekerjaan perasaan enggan mendadak sontak
muncul, semua cerita motivasi tersapu tak bersisa. Sebenarnya keadaan ini
adalah sebuah alasan untuk memberikan training dan meningkatkan soft skills
staf dan karyawan—menciptakan agent of change. Mengapa demikian? Tempat kerja
merupakan aspek lingkungan yang tidak dapat mengubah dirinya guna menyesuaikan
dengan kebutuhan-kebutuhan manusia di dalamnya. Manusialah yang dapat mengubah
persepsinya atau melakukan tindakan bertujuan memengaruhi lingkungan itu.
Perubahan persepsi akan memampukan orang mendisasosiasi dengan lingkungan yang
memberi dampak negatif. Dengan mind set berbeda pekerjaan yang menumpuk di atas
meja dapat dipersepsi ulang sebagai tantangan yang menimbulkan antusiasme untuk
menuntaskannya. Training yang tepat sasaran membantu para peserta menguasai
kemampuan memotivasi diri dan dengan demikian ia akan menjadi kapabel untuk
terus-menerus mempersepsikan sisi-sisi positif bagi dirinya.
Pengusaha lain
berpendapat lain lagi, seseorang yang bersusah-payah mendapatkan pekerjaan
seharusnya selalu termotivasi untuk bekerja keras dan cerdas serta siap seratus
persen untuk menjalankan tugas dalam situasi dan kondisi bagaimanapun. Tidak
perlu lagi ditraining, apalagi soft skill yang hasilnya tidak terukur.
Betul sekali.
Orang yang berani melamar suatu pekerjaan harus konsisten dengan apa yang
pernah dikatakannya pada saat interview bahwa, ia telah memiliki kapabilitas
menjalankan pekerjaan yang ditawarkan kepadanya. Tetapi pada umumnya yang
dimaksud kapabilitas atau kecakapan adalah keterampilan operasional. Supaya
dapat terus-menerus berkinerja maksimal di bidangnya, orang tidak hanya
membutuhkan hard skills, tetapi juga perlu meningkatkan kapabilitas kecerdasan
emosional dan spiritualnya. Maka ini menjadi suatu alasan pentingnya pelatihan soft skills, yakni
meningkatkan kecerdasan emosional dan spritual. Peningkatan ini akan membawa
dampak positif baginya untuk meningkatkan kinerja kerja. Pada gilirannya tentu
saja karyawan tersebut membawa dampak positif pula bagi perusahaan.
Tidak jarang
para pengusaha mengatakan, “Hei, aku sudah menjalankan perusahaan ini selama
puluhan tahun, dan aku tidak pernah memerlukan pelatihan komunikasi, motivasi,
negosiasi atau si-si lainnya. Kalau ada pegawai yang tidak kompeten ya
dikeluarkan saja dan cari lagi. Di luar sana banyak yang nganggur!” Emang gua
pikirin hal soft skill....????
Apa yang
dikemukakan golongan pengusaha ini tak terbantahkan kebenarannya. Namun dengan
tidak mengembangkan interpersonal dan intrapersonal staf dan karyawan, mereka
memiliki kerugian-kerugian di antaranya adalah:
a) Perusahaan berjalan di tempat dan tidak pernah
mencapai puncaknya disebabkan orang-orang yang bekerja di dalamnya juga
berjalan di tempat.
b) Selain itu ongkos yang dikeluarkan untuk memecat dan
merekrut bisa mencekik leher.
c) Praktek ini juga menguras tenaga dan pikiran serta
emosi yang tidak sedikit.
d) Kerugian terbesar yang dapat ditimbulkan cara pandang
dan praktek ini adalah karyawan bintang akan “pergi dengan suka-rela” sementara
yang dead wood (kartu mati) akan bertahan.
e) Jarang ada rekruit baru berkembang sebab mereka
diceburkan ke dalam lingkungan kerja yang tidak sehat. Akhirnya lingkaran setan
terulang lagi, yang berprestasi akan pergi dan yang ‘memble’ bertahan. Maka di
sinilah alasan ketiga mengapa pelatihan soft skills perlu diberikan kepada para
karyawan bintang agar mereka betah sebab merasa menemukan tempat
bertumbuh-kembang dan dibantu untuk menggali potensi diri semaksimal mungkin.
Kelompok
pengusaha lain akan menyanggah pendapat di atas dan mengatakan biasanya
karyawan itu kalau sudah diberi training-training dan dibina akan “terbang” ke
perusahaan lain yang menawarkan gaji dan remunerasi lebih baik. Tetapi bukankah
ini alasan keempat mengapa pelatihan soft skills perlu diberikan sebab membantu
proses penyeleksian? Staf atau karyawan yang tidak loyal pasti akan pergi cepat
atau lambat. Tentunya semakin cepat mereka pergi semakin baik, sebab memberi
perusahaan kesempatan mendapatkan loyalist sejati. Selain itu juga memberikan
alasan lain pentingnya pelatihan soft skills yaitu direksi atau manajemen akan
mendapatkan feedback bahwa, perusahaan belum menjadi perusahaan yang diincar
atau mendapatkan karyawan berkinerja tinggi, masih dibutuhkan peningkatan
sehingga karyawan bintang dapat dipertahankan.
Alasan berikutnya
adalah mengapa training soft skills diperlukan adalah banyaknya keluhan bahwa,
perusahaan—baik manajemen maupun karyawan overload dan tidak memiliki waktu
untuk rekreasi apalagi training. Kan cape setelah bekerja lembur setiap hari
dari Senin hingga Jumat, Sabtu masih harus mengikuti training? Rekreasi saja
lebih enjoy ! Overload menandakan manajemen waktu—sebetulnya manajemen
aktivitas, pendelegasian tugas—yang tidak efektif sedang berlangsung di
perusahaan. Semua orang, mulai dari jenjang paling tinggi hingga OB merasa
kekurangan waktu dan dibebani tugas yang terlalu banyak. Akibatnya hampir
setiap orang mengalami burn-out, berkeluh-kesah, cepat tersinggung dan tidak
peduli pada kepentingan orang lain.
Alasan klise lain
yang dikemukakan untuk tidak memberikan kesempatan kepada staf dan karyawan
mengembangkan diri adalah: TIDAK ADA BUDGET! TIDAK ADA DANA! Bukan hanya tidak
rela mengeluarkan dana untuk training, bahkan banyak perusahaan berusaha
menghindari menyertakan karyawannya dalam program Jamsostek dan dana pensiun.
Sungguh pernyataan di atas—TIDAK ADA BUDGET/DANA—tidak jarang terdengar. Namun
perusahaan yang memahami dan serius dengan semboyan “karyawan adalah aset yang
berharga”, pasti mencadangkan sejumlah dana untuk training. Jadi alasan keenam
pentingnya pelatihan soft skill disebabkan karyawan adalah aset perusahaan yang
sangat penting.
Setelah keenam
alasan di atas, manajemen masih dipersulit oleh kenyataan terlalu banyaknya
lembaga atau perorangan yang menawarkan training; mulai dari motivational
hingga out-bound training. Selain bingung memilihnya juga banyak yang ternyata
kurang kompeten. Tetapi inilah suatu alasan juga untuk membelanjakan uang
perusahaan dan sangat mudah sebenarnya memilih training yang bermutu dengan
harga terjangkau. Banyaknya lembaga atau perorang yang menawarkan training
justru membuka kesempatan bagi dunia usaha untuk memilih yang terbaik di
antaranya. Namun bagaimana caranya? Inilah beberapa saran memilih trainer yang
bermutu.
1. Trainer
berpengalaman di bidang manajemen dan kepemimpinan. Pengalaman demikian
diperoleh melalui bekerja berpuluh tahun di perusahaan dan industri berbeda.
Pengalaman yang luas memampukan seorang trainer memberikan materi yang tepat
guna dan tetap sasaran. Apapun pertanyaan di seputar manejemen sumber daya
manusia, interaksi yang melibatkan penggunaan soft skill dapat dijawabnya
dengan baik.
2. Pendidikan
yang cukup berarti trainer dan tim trainer paling tidak lulus S1 dan lebih baik
lagi lulus S2 dan S3. Latar-belakang pendidikan mungkin tidak berhubungan
dengan bidang pelatihan soft skill yang diberikannya, namun pendidikan di
perguruan tinggi membuat orang dapat berpikir konseptual lebih baik daripada
yang tidak. Tingkat pendidikan tentu saja tidak membuat orang berbeda secara
harkat dan martabat, tetapi seorang trainer atau pelatih tidak cukup
bermartabat saja ia juga harus kapabel berpikir dan mengajarkan hal-hal yang
konseptual.
3. Kredibilitas
seorang trainer. Apakah trainer atau lembaga training memiliki kredibilitas
yang dapat dipercaya? Trainer yang kredibilitas selalu memberikan lebih
daripada yang diharapkan, ia tidak akan memangkas materi dan jam pelatihan
serta tidak menghindari pertanyaan-pertanyaan yang sulit.
4. Integrasi;
artinya trainer atau lembaga training tersebut melakukan apa yang dikatakannya,
memberikan pelatihan yang tepat sasaran buat perusahaan bukan sekedar
menyampaikan materi yang dikuasainya—kadang-kadang hanya diketahui—saja.
5. Terjangkau;
memang ada harga ada rupa, trainer berpengalaman dan telah memiliki reputasi
baik mengenakan fee yang lebih tinggi, tetapi trainer yang baik mengenakan fee
yang sepantasnya, mungkin saja perusahaan mengeluarkan uang yang banyak, tetapi
mendapatkan nilai-nilai manfaat dan nilai tambah lebih besar lagi.
6. Menguasai
bidang pengembangan sumber daya manusia seperti kecerdasan emosional. Tujuh
tahun terakhir ini banyak sekali trainer yang mengaku dirinya menguasai
Neuro-Linguistic Programming, hipnosis dan segala teknik berbau new age dan
menawarkannya kepada dunia usaha, namun manajemen terutama yang mendapat tugas
mencari trainer atau memilih program training perlu hati-hati. NLP merupakan
bidang pengembangan diri yang luas cakupannya tidak cukup diketahui dan
dijadikan bahan training singkat. Demikian pula hipnosis yang hanya dipelajari
sehari dua hari tidak tepat digunakan untuk mengajari orang lain. Bagaimanapun
trainer merupakan orang luar yang tidak memahami perusahaan Anda sebaik diri
Anda, jadi lakukan interview sebelum mengontrak seseorang untuk pekerjaan
penting.
7. Trainer yang
melakukan riset dan menulis buku. Tentang hal inipun Anda harus jeli, sebab
banyak sekali orang menulis buku dan hal ini tidak secara otomatis menunjukkan
kompetensinya. Bukan hal mustahil menulis buku dari kopas berbagai sumber, dan
tentu saja orang juga dapat membayar orang lain untuk melakukannya.
8.Seringkali
user terjebak dengan alur birokratis hal trainer & lembaga training,
padahal telah jelas regulasi yang mengaturnya, bahwa kecuali taining yang
dianggap kategori kompetensi, maka sebenarnya tak ada regulasi yang mengatur
jelas, bahkan banyak sertifikasi yang sebenarnya secara internasional diakui,
di negeri “rayuan pulau kelapa” tercinta ini justru tidak diakui.
9.Akhirnya
banyak para profesional yang terjebak mencari sekedar selembar kertas yang
penuh dengan konversi satuan kredit profesi (SKP) agar menjadi “gagah & berwibawa”
khususnya menjadi seorang “pegawai negeri” layaknya amtenar para mandor di
jaman kolonial, namun rapuh dalam muatan substansi hard skill, apalagi soft
skill.
Kalimat “sertifikasi”
menjadi gagah dan hingar bingar arogan, namun hanya berakhir dengan selembar
sertifikat, ibarat investasi itu adalah membeli selembar kertas yang penuh cap
dan tanda tangan para “pejabat papan atas”, namun rapuh dalam substansi ilmu
yang tandem.
Tentunya banyak
lagi kriteria-kriteria seorang trainer yang baik. Sangat dianjurkan sebelum
mengundang seseorang lebih baik melakukan pertemuan tatap-muka. Bicarakan
keinginan dan kebutuhan perusahaan lalu amati dengan cermat apakah orang atau
tim tersebut mampu memenuhinya. Amati pula apakah mereka hanya membicarakan apa
yang mereka ketahui atau menawarkan solusi-solusi yang tepat.
Kita
seharusnya menjadi sedih ketika negeri ini bermental “pengemis” yaitu
masyarakat yang enggan bekerja keras, namun ingin secara instan mendapatkan
bertumpuk-tumpuk RUPIAH. Kategori pengemis adalah mulai dari asongan di
perempatan lampu merah, stasiun, terminal bis, atau sudah punya warung kaki
lima di pasar serta beberapa pusat keramaian, bahkan sampai di tataran yang
memiliki kantor bergengsi dengan stelan jas dan berdasi, bahkan memiliki label “pejabat”,
namun akhirnya semua akan kena batunya, tinggal berbeda dalam instansi yang
akan menggiring dan mencekik lehernya. Kalau klas asongan ya dibawah depsos
yang membina, klas kaki lima ditambah bantuan satpol yang menertibkan, kalau
kelas yang berkantor, maka KPK yang menjadi algojo akhir. Hal ini dilatih
dengan gaya ikut pelatihan namun hanya berharap selembar sertifikat agar
dikatakan telah tersertifikasi.....
Nah....
Soft skill is never die... disitulah
muncul serta nampak perannya...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar